Sebarang karya nukilan yang ingin disalurkan untuk tujuan penyiaran, sila emailkan ke secret7writer@yahoo.com. Terima kasih.

Thursday, March 28, 2013

Perempuan Jawa

9:00:00 AM | | Best Blogger Tips


Batu batu atas bahu Miah naik atas kepala. Batu batu itu makin bertambah bila dia pandang Budi. Tapi Miah senyum manis sekali pada Budi. Miah buka ikatan kain sarung tempat Budi tidur di bahu. Budi Miah dudukkan atas tanah hitam. Sambil dikutip kutip besi dan plastik masuk dalam karung kosong, Miah lihat Budi tepuk tepuk tanah dan baling-baling tanah bersekali batu pada Miah. Habis kuku Budi terlekat lekat pasir hitam, jadi kotor. Budi sengih sengih nampak gigi susu belum gugur. Pulang ke kolong nanti aku asah pisau lipat Atan yang tertinggal tempoh hari, potong kuku Budi biar bersih. 

Setiap helaan nafas Miah berdarah. Tapi tak terlihat dek mata yang pandangannya hanya pada uang. Bila badan manusia bisa dilihat orang untuk jadi tukaran ganti uang, terhapus semua sifat yang pernah buat dia jadi manusia dahulu. Orang itu sudah tidak lagi manusia. Orang itu cuma iblis iblis perosak. Budi adalah hasil jualan badan manusia. Dan dulunya Miah adalah barang jualan tanpa rela. 

Setiap bangunnya Miah di pagi subuh, Miah pandang Budi dulu. Budi kulitnya gelap. Bulu matanya lebat melentik. Hidungnya leper. Perutnya buncit. Baju Budi pakai Miah yang punya. Seluar Budi pun Miah yang punya. Dikoyak sedikit bawah seluar itu, diikat getah sedikit di perutnya, Budi bisa muat. Miah ajar Budi berdikari. Kalau mahu berak harus cubit lengan Miah kuat kuat. Budi bisu. Kalau kira kira, umur Budi sama dengan umur anak Atan si pembeli karung harian Miah. Miah senyum senget. Budi kita sama nasib. Kau bukan anak tapi kau teman. 

Budi senyum pada Miah lagi. Tanah hitam ditepuk tepuk Budi lagi. Budi suka main atas tanah. Bila Miah dudukkan Budi, Budi takkan bangun. Budi tak boleh bangun, kakinya belum mampu. Mungkin lambat sikit. Biarlah. Kadang bila pikir, buatan siapa Budi ini Miah tidak tahu. Juga tidak mahu tahu. Budi adalah Budi. Lahirnya atas tanah, dari kelangkangan Miah yang perit jerih meneran hanya Yang Kuasa saja tahu. “Budi, Budi, senyum kamu meleret leret saja bila aku acah acah kamu. Apa kamu paham atau tidak dunia sedang mencacimu,mencaci aku? Tak apalah anak, senyumlah kamu. Dunia tidak tahu apa Tuhan atur untuk kita dua orang, ya bukan?”

Miah kutip kutip juga pucuk pucuk di hutan. Sebelum subuh pun Miah sudah keluar. Rutin hariannya juga, Miah bawa bekas isi air lalu diletakknya air embun atas daun daun dalam bekas air itu. Budi suka sekali air itu. Kuasa Tuhan, Miah tidak punya susu yang banyak. Embun yang ganti. Miah dan Budi hanya makan pucuk pucuk rebus sama ubi kayu. Bila Miah lalu dekat dengan p ekan, Miah nampak papan tinggi melangit. Cantik cantik sekali orang dalam itu. Moga moga saja hidup mereka bahagia seperti senyum mereka beri dalam itu. Miah juga kadang terlihat perempuan berjalan ke sekolah kelek buku dan bagasi. Hati Miah juga kadang meronta ronta. Orang sama baya ke sekolah kelek buku, Miah dukung Budi.

“Budi, ya Budi. Budi mahu jadi apa besar nanti? Aku kasi kau tahu ya? Di luar sana nanti, kau ajari orang ya. Ajar mereka jadi pandai, pandai seperti Rasul kamu. Kamu tahu ya Budi, aku ada dengar di madrasah sana, ada pak Kiai bilang begitu. Budi, Rasul kamu itu baik sekali orangnya. Nanti aku bawa kamu ke tepi jambatan sana ya? Kita dengar sama sama.” Miah omongan sama Budi sambil tunduk kutip botol dan masuk dalam karung. Budi hanya senyum. Hanya senyum dan tepuk tepuk tanah.

“Budi, ya Budi. Kamu tahu ngak, jadi ibu guru itu pasti seronok, bukan? Dulunya, aku juga bercita cita mahu jadi ibu guru. Pegang buku di tangan kiri, sambil kapurnya di tangan kanan.Kemudian aku tulis. Atas papan hitam itu. Andai ada yang mahu menanya, ah angkat saja tangannya. Usah ribut-ribut. Ha, kamu yang hujung sana. Ada apa kamu mahu tanya pelajaran ini hari? Nanti hantar ya kerjaan ibu beri. Main di padang pun jangan lupa kerjaan ya anak anak. Oh gembira sekali ya Budi?” Miah beraksi seperti seorang guru. Batang kayu pendek di jari jadi kapur. Langit jadi papan hitam. Budi dan lalang lalang pula jadi pelajar pelajarnya. Cuma itu hiburan Miah dan Budi. 

Penuh sekarung, Miah lilit kain di kepala. Kemudian kain sarung satu lagi Miah ikat pada badan, jadi rumah Budi. Bila Budi sudah selesa, kain atas kepala Miah jadi alas untuk karung penuh tadi. Miah angkat karung dan junjung atas kepala. Miah betulkan letaknya agar tidak jatuh dan terus ke rumah Atan. 

Itu rutin harian Miah dan Budi. Di pekan letaknya rumah Atan, Miah dapat uang dan simpan dalam bekas kopi. Jauh juga Miah berjalan. Orang orang pekan selalu saja usik Miah. Tapi Miah diam. Sudah jadi biasa. Sebab Miah yakin kata kata pak Kiai benar. Dia tahu dia ada Tuhan. Ada Rasul. Ada Budi.

Sesekali dalam perjalanan pulang ke kolong, ada suatu madrasah ini akan ada seorang pak Kiai yang suaranya kuat sampai ke luar. Hari itu, pak Kiai ada. Miah senyap senyap dengar dari luar. Miah duduk atas tanah tepi pokok dekat madrasah dan dudukkan Budi atas tanah. Budi pun senyum. Miah juga ikut senyum. 

Pak Kiai itu mula berkata, “Kita manusia ini hanya menyinggah di muka bumi. Kalau kalian semua hidup susah, hidup ngak ada uangnya, sabarlah, sabarlah, sabarlah. Malam akan berganti siang. Hari akan berganti bulan dan bulan akan berganti tahun. Selama mana aja susahnya kamu itu sih. Yang tetap sifatnya Cuma Dia yang Maha Bijaksana, tetap pada segala keadaan dan sifatnya. Tuhan mungkin akan cipta yang baru setelah semua itu. Kalian harus tahu yang setiap yang sulit itu ada kemudahan di setiapnya.” 

Sampai habis pak Kiai mengajar, Miah masih di tanah. Dengar dengan tekun sekali. Bila pak Kiai mulai mahu keluar dari madrasah, Miah cepat cepat beredar. Malu dilihat pak Kiai. Tangan Miah pantas saja betulkan semula kain sarung rumahnya si Budi pada bahunya. Sambil berjalan, pikiran Miah terbang ke langit. Kata kata pak Kiai sungguh terkesan pada hati. Beberapa langkah sampai ke kolong, Miah pandang Budi. Sudah lelap. Miah senyum pada temannya itu. Miah tahu satu persatu batu batu dari kepalanya turun ke bahu dan jatuh ke tanah bergelimpangan. Budi, biar aku dukung kau sampai bila nanti kau besar kau dukung aku dalam doa kau hari-hari hidupnya kau atas tanah ini.


 
Hak Cipta: Azza Li
Email: izhanim22@gmail.com
Twitter: twitter.com/IzzatulFarhanim

3 comments

March 28, 2013 at 2:46 PM

Memang manusia tak akan pernah tahu-sedar andai belum tempohnya untuk dia tahu... Tulisan kamu bagus...

March 28, 2013 at 10:40 PM

salam ziarah :D

Momo
March 30, 2013 at 9:37 AM

Cerita yang menarik...this is a true story in Indonesia?

Post a Comment
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...